Rabu, 17 Februari 2010

KONSEP HEALTH ECONOMIC ATASI MASALAH PEMBIAYAAN KESEHATAN

Saat ini, pelayanan kesehatan belum dinikmati secara merata oleh penduduk Indonesia. Ini terjadi karena terdapat beberapa perbedan seperti jarak geografis, latar belakang pendidikan, keyakinan, status sosial ekonomi, dan kurang cakupan jaminin kesehatan. Para pakar beranggapan bahwa evaluasi ekonomi untuk efisiensi pembiayaan kesehatan dapat lebih mengoptimalkan hasil pengobatan dengan pendanaan yang terbatas.

Sistem kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh sistem pasar bebas tanpa standar produk dan harga. Pada sistem ini, mekanisme pasar bagus jika syarat tertentu terpenuhi dan ada standar. Selain itu, mekanisme pasar akan cost effetive jika ada informasi simetri di mana konsumen memiliki kemampuan mengevaluasi dan memilih produk atau pelayanan secara obyektif. Namun, pada kenyataannya, kedua kondisi tersebut tidak sesuai dengan perawatan kesehatan yang sesungguhnya. Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, dalam Diskusi Media dengan tema “Health econimic: Patient and Pharmaceutical Use” di Hotel Borobudur, 12 Januari 2010.

Dalam kurun waktu tujuh tahun, belanja kesehatan perkapita Indonesia meningkat tiga kali lipat.”Belanja kesehatan perkapita Indonesia pada 2009 meningkat tajam menjadi 494.000 atau tiga kali lipat pengeluaran pada 2002,” Ungkap Prof. Hasbullah. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan demografis, epidemiologi, dan meningkatnya usia harapan hidup. Disisi lain, inovasi dan perkembangan di bidang teknologi kedokteran serta obat-obatan juga perkembang pesat sehingga biaya pengobatan yang mahal harus ditanggung pasien. Mendapati kondisi demikian, harus dilakukan evaluasi ekonomi yang tepat agar menghasilkan kebijakan kesehatan yang sesuai.”Untuk dapat memenuhi kebutuhan kesehatan yang berkualitas dan cost effective, kebijakan kesehatan sebaiknya melalui evaluasi ekonomi yang tepat,”tegasnya.

Pendekatan tersebut dikenal dengan Health economics yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pada fenomena dan masalah-masalah kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Health economics berfokus pada dua hal, yakni mobilisasi dana dan belanja kesehatan yang efisien. Pada 2005, WHO menekankan perlunya mobilisasi dana untuk cakupan jaminan sosial. Sebagai contoh, obat murah sering tidak diyakini efektif, sedangkan obat yang satuannya mahal belum tentu kurang Cost Effective dalam jangka panjang. Terkadang, pasien kurang menyakini kondisi yang demikian. Akibatnya, terjadi banyak pemborosan, baik karena penggunaan obat murah tapi kurang efektif ataupun obat mahal yang tidak tepat.

Pakar kesehatan masyarakat dari Amerika Serikat Prof. Diana I. Brixner, RPh, PhD, juga sependapat dalam penerapan konsep Health Economics. Menurutnya, konsep tersebut dapat membantu menghemat biaya kesehatan secara berkualitas dan tepat guna. Sebelumnya, kebijakan kesehatan acap kali didasarkan pada tingkat efikasi dan khasiat terapi bagi pasien tanpa mempertimbangkan faktor biaya sama sekali. Namun, analisis ini tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini. “Populasi yang semakin meningkat dan alokasi pembiayaan kesehatan yang minim di negara-negara berkembang mengharuskan adanya sebuah analisis evektifitas dan efisiensi inovasi kesehatan di dunia nyata,”ungkapnya.

Dalam penerapannya, Health Economics memerlukan dukungan penuh dari pemerintah, akademisi, peneliti, dan komunitas media lainnya agar dapat mengatasi permasalahn kesehatan, khususnya penggunaan obat. Dengan memperkuat pengetahuan akan Health Economics, diharapkan tercipta sekelompok ahli evaluasi ekonomi yang dapat mendorong terwujudnya sistem kesehatan yang merata dan efisien di Indonesia. (MEDIKA)

Minggu, 07 Februari 2010

INDONESIA SEHAT 2010

III. ISU STRATEGIS

Setelah dilakukan analisis situasi kesehatan masyarakat, masalah, kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman maka dapat disintesakan bahwa isu strategis yang dihadapi adalah :

A. Kerja sama Lintas Sektoral
Sebagian dari masalah kesehatan adalah merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari sector lain sehingga upaya pemecahan ini harus secara strategis melibatkan sector terkait. Isu utama tersebut adalah bagaimana upaya meningkatkan kerjasama lintas sektoral yang lebih efektif karena kerjasama lintas sektoral dalam pembangunan kesehatan selama ini sering kurang berhasil, banyak program nasional yang terkait dengan kesehatan, tetapi pada akhirnya tidak atau kurang berwawasan kesehatan.
Pembangunan kesehatan yang dijalankan selama ini hasilnya belum optimal karena kurangnya dukungan lintas sektoral. Beberapa program-program sektoral yang tidak atau kurang berwawasan kesehatan sehingga memberikan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Sebagian dari masalah kesehatan terutama lingkungan dan prilaku berkaitan erat dengan berbagai kebijaksanaan maupun pelaksanaan program di sektor ini. Untuk itu diperlukan pendekatan lintas sektoral yang sangat baik, agar sektor terkait dapat selalu mempertimbangkan kesehatan masyarakat.
Demikian pula peningkatan upaya dan menajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari peran sektor-sektor yang membidangi pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan, perdagangan, dan sosial budaya.
B. Sumber Daya Manusia Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya serta manajemen kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan berusaha untuk menguasai IPTEK yang tinggi/mutakhir. Disamping itu mutu sumber daya tenaga kesehatan ditentukan pula oleh nilai-nilai moral yang dianut dan diterapkannya dalam menjalankan tugas. Disadari bahwa sumber daya tenaga kesehatan Indonesia yang mengikuti perkembangan IPTEK dan menerapkan nilai-nilai moral dan etika profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dalam era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan meningkatkan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu meningkatkan daya saing sektor lain. Antara lain meningkatkan komoditi eksport bahan makanan dan makanan jadi.
Dalam kaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan kemampuan dan profesionalisme manajer kesehatan disetiap tingkat administrasi merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Pemberdayaan atau kemandirian masyarakat dalam upaya kesehatan sering belum seperti yang diharapkan. Kemitraan yang setara, terbuka, dan saling menguntungkan bagi masing-masing mitra dalam upaya kesehatan menjadi suatu yang sentral untuk upaya pembudayaan perilaku hidup sehat, penetapan kaidah hidup sehat dan promosi kesehatan.
C. Mutu dan Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik puskesmas maupun rumah sakit serta sarana kesehatan lainnya termasuk sarana penunjang upaya kesehatan telah dapat dikatakan merata ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Namun harus diakui bahwa persebaran fisik tersebut masih belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan.
Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainya, proses pemberian pelayanan dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Dengan demikian maka peningkatan kulitas fisik serta factor-faktor tersebut diatas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi. Selanjutnya proses pemberian pelayanan ditingkatkan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Sedangkan harapan masyarakat pengguna diselaraskan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, komunikasi yang baik antara pemberi pelayanan dengan masyarakat.
D. Pengutamaan dan Sumber Daya Pembiayaan Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan masih kurang mengutamakan pendekatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit dan kurang didukung oleh sumber daya pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa keterbatasan dan pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang besar bagi kelangsungan program pemerintah serta ancaman terhadap pencapaian derajat kesehatan yang normal.
Dengan demikian maka diperlukan upaya yang lebih masif untuk meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor lain yang diutamakan untuk kegiatan pemerataan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit. Sumber daya pembiayaan untuk upaya penyembuhan dan pemulihan perlu digali lebih banyak dari sumber-sumber yang ada di masyarakat dan diarahkan agar lebih nasional dan lebih berhasil dan berdaya guna untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pengeluaran langsung masyarakat digunakan secara kurang efektif dan efisien sebagai akibat dari adanya informasi yang tidak sama antara pemberi pelayanan dan penerima pelayanan (pasien atau keluarganya). Keadaan ini mendorong perlunya langkah strategis dalam menciptakan sistem pembiayaan yang bersifat baru-upaya yang sering dikenal dengan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Ketersediaan sumber daya yang terbatas, khususnya disektor ini mengharuskan adanya upaya-upaya untuk meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri peningkatan kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta sehingga sumbera daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.

BERPIKIR

Apakah berpikir itu?
Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambing-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak (Floyd L. Ruch dlm bukunya yg klasik, Psychology and Life (1976)).
Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, “The term ‘thinking’ refers to many kind of activities that involve the manipulation of concept and symbols, representation of objects and event” (1973). Jadi, berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa.
Jelas berpikir melibatkan penggunaan lambing, visual atau grafis. Tetapi untuk apa orang berpikir? Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity). Memahami relitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga dengan singkat, Anita Taylor et al. Mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process (Taylor et al. 1977).
Bagaimana Orang Berpikir?
Bagaimana orang berpikir? Atau bagaimana orang menarik kesimpulan? Secara garis besar ada dua macam berpikir: berpikir autistik dan berpikir realistik. Yang pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Fantasi, menghayal, wishful thinking, adalah contoh-contohnya. Dengan berpikir autistik orang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Berpikir realistik, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L. Ruch menyebut tiga macam berpikir realistik : deduktif, induktif, evaluative (Ruch, 1967).
Berpikir deduktif ialah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang pertama merupakan pernyataan umum. Dalam logika, ini disebut silogisme. Contoh yang klasik adalah:
Semua manusia bakal mati.
Socrates manusia.
Jadi, Socrates bakal mati.
Berpikir deduktif dapat dirumuskan,”Jika A benar, dan B benar, maka akan terjadi C.”Jika semua mahasiswa belajar di perguruan tinggi, dan Tobing mahasiswa, maka pasti Tobing belajar di perguruan tinggi. Dalam berpikir deduktif, kita mulai dari hal-hal yang umum pada hal-hal yang khusus.
Berpikir induktif sebaliknya, dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi. Saya bertemu dengan asep, mahasiswa FIKOM. Ia pandai bicara. Saya berjumpa dengan Heli, Yeni, Hamdan; semuanya mahasiswa FIKOM dan pandai bicara. Saya menyimpulkan, mahasiswa FIKOM pandai bicara. Ketepatan berpikir induktif bergantung pada memadainya kasus yang dijadikan dasar. Misalnya, apakah lima orang mahasiswa FIKOM cukup untuk dijadikan sampel yang representative.
Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilai menurut criteria tertentu. Menurut perkembangan mutakhir psikologi kognitif, manusia lebih sering berpikir tidak logis daripada berpikir logis seperti berpikir deduktif. Kata Morton Hunt (1982).”…logical reasoning is not our usual – or natural – practice, and the technically invalid kinds or reasoning we generally employ work rather well in most of the everyday situations,…”(Berpikir logis bukanlah kebiasaan kita atau hal yang alamiah. Dan cara berpikir yang menurut kaidah logika tidak valid, yang biasanya kita lakukan, justru berjalan agak baik dalam kebanyakan situasi sehari-hari). Berpikir tidak logis ternyata lebih praktis, efisien, dan bermanfaat. Terkenal ucapan Wason dan Johnsohn-Laird,.”At best, we can all think like logicians; at worst, logicians all think like us” (Pada keadaan terbaik, kita semua dapat berpikir seperti ahli logika; dalam keadaan terjelek, ahli logika semua berpikir seperti kita).
Kalau begitu, tentu hanya mereka yang ahli saja yang dapat berpikir logis. Sudah lama di duga orang bahwa wanita, anak kecil, rakyat pedesaan, atau orang berpendidikan rendah, berpikir tidak logis. Yang logis hanya ilmuan, kaum professional, dan pejabat. Anggapan ini tidak benar. Paul E. Johnson meneliti cara berpikir ilmuan dan ahli dari berbagai profesi. Ia menulis,”Saya selalu terkejut menyaksikan, bahwa ahli-ahli yang kami teliti sangat jarang melakukan berpikir seperti logika formal. Kebanyakan mereka melakukan berpikir inferensial kira-kira, yang didasarkan pada pengenalan persamaan” (Hunt, 1982). Ole R. Hasti dan Alexander George – Keduanya sarjana ilmu politik – menemukan bahwa pengambil keputusan luar negri di tingkat atas lebih banyak menetapkan keputusan berdasarkan proses yang irasional.
Inilah yang disebut berpikir inalogis; umumnya orang menggunakan perbandingan atau kontras. Jika anda mengatakan bahwa kehidupan di Yugoslavia seperti Belanda, anda menggunakan perbandingan. Jika anda membandingkan keadaan pedesaan Indonesia sebelum dan sesudah Orde Baru, anda menggunakan kontras. Robert J. Sternberg, psikolog dari Yale, meneliti penggunaan analogi ini (Sternberg, 1977). Ia menulis “Kita berpikir secara analogis setiap kali kita menetapkan keputusan tentang sesuatu yang baru dalam pengalaman kita, dengan menghubungkannya pada sesuatu yang sama pada masa lalu. Bila kita membeli ikan mas, karena kita menyukai ikan mas yang dulu, atau jika kita mendengar nasihat kawan, karena dahulu nasihatnya benar, kita berpikir secara analogis.”
Lucunya, berpikir analogis yang tidak logis itu paling sering kita gunakan untuk menetapkan keputusan, memecahkan soal, dan melahirkan gagasan baru.

ILMU PENGETAHUAN

Ilmu atau “sains”adalahpengetahuan tentang fakta-fakta, baik natura atau sosial, yang berlaku umum dan sistematik. Karena ilmu berlaku umum, maka darinya dapat disimpulkan pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada beberapa kaidah umum pula. Ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan yang sudah terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah umum.
1. Ilmu dan Proses Berpikir.
Dua buah definisi dari ilmu adalah sebagai berikut: “Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematik. Pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah yang umum.”
“ilmu adalah pengetahuan yang sudah dicoba dan diatur menurut urutan dari arti serta menyeluruh dan sistematik.
Ilmu lahir karena manusia diberkahi Tuhan suatu sikap ingin tahu. Keingintahuan seseorang terhadap permasalahan di sekelilingnya dapat menjurus kepada keingintahuan ilmiah. Misalnya, dari perrtanyaan apakah bulan mengelilingi bumi, apakah matahari mengelilingi bumi, timbul keinginan untuk mengadakan pengamatan secara sistematik, yang akhirnya melahirkan kesimpulan bahwa bumi itu bulat, bahwa bulan mengelilingi matahari dan bumi juga mengelilingi matahari. Juga bidang ilmu-ilmu sosial, keingintahuan tentang masalah-masalah sosial telah membuat orang mengadakan pengamatan-pengamatan secara sistematik terhadap fenomena-fenomena sosial seperti Sosiologi, Antropologi, dan sebagainya.
Menurut Maranon (1953), ilmu mencakup lapangan yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang progres manusia secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematik melalui pengamatan dan percobaan yang terus menerus, yang telah menghasilkan penemuan kebenaran yang bersifat umum. Tan (1954) berpendapat bahwa ilmu bukan saja merupakan suatu himpunan pengetahuan yang sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi. Ilmu telah memberikan metode dan system, yang mana tanpa ilmu, semua itu akan merupakan suatu kebutuhan saja. Nilai dari ilmu tidak saja terletak dalam pengetahuan yang dikandungnya, sehingga si penuntut ilmu menjadi seorang yang ilmiah, baik dalam ketrampilan, dalam pandangan, maupun tindak tanduknya.
Ilmu merupakan materi-materi alamiah serta memberikan suatu sosialisasi sebagai hukum alam. Ilmu membentuk kebiasaan serta meningkatkan ketrampilan observasi, percobaan (eksperimentasi), klasifikasi, analisa serta membuat generalisasi. Dengan adanya keingintahuan manusia yang terus-menerus, maka ilmu akan terus berkembang dan membantu kemampuan persepsi serta kemampuan berpikir secara logis, yang disebut penalaran.
Konsep antara ilmu dan berpikir adalah sama. Dalam memecahkan masalah, keduanya dimulai dari adanya rasa sangsidan kebutuhan akan suatu hal yang bersifat umum. Kemudian timbul suatu pertanyaan yang khas, dan selanjutnya dipilih suatu pemecahan tentatif untuk penyelidikan.
Proses berpikir adalah suatu refleksi yang teratur dan hati-hati. Proses berfikir lahir dari satu rasa sangsi akan sesuatu dan keinginan untuk memperoleh suatu ketentuan, yang kemudian tumbuh menjadi suatu masalah yang khas. Masalah ini memerlukan suatu pemecahan, dan untuk ini dilakukan penyelidikan terhadap data yang tersedia dengan metode yang tepat. Akhirnya, sebuah kesimpulan tentative akan diterima, tetapi masih tetap dibawah penyelidikan yang kritis dan terus-menerus untuk mengadakan evaluasi secara terbuka.
Biasanya, manusia normal selalu berpikir dengan situasi permasalahan. Hanya terdapat hal-hal yang lumrah saja, biasanya reaksi manusia terjadi tanpa berpikir. Ini adalah suatu kebiasaan atau tradisi. Tetapi jika masalah yang dihadapi adalah masalah yang rumit, maka manusia normal akan mencoba memecahkan masalah tersebut menurut langkah-langkah tertentu. Berpikir demikian dinamakan berpikir secara reflektif (reflective thinking) .
Bagaimakah kira-kira proses yang terjadi ketika berpikir? Menurut Dewey (1933) proses berpikir dari manusia normal mempunyai urutan berikut:
· Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit mengenal sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang munculsecara tiba-tiba.
· Kemudian rasa sulit tersebut diberi definisidalam bentuk permasalahan.
· Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka, hipotesa, inferensi atau teori.
· Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui pembentukan implikasi dengan jalan mengumpulkan bukti-bukti (data).
· Menguatkan pembuktian tentang ide-ide di atas dan menyimpulkannya baik melalui keterangan-keterangan maupun percobaan-percobaan.
Menurut Kelly (1930), proses berpikir menuruti langkah-langkah berikut :
· Timbul rasa sakit.
· Rasa sulit tersebut didefinisikan
· Mencari suatu pemecahan sementara
· Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
· Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental (percobaan).
· Mengadakan penelitian terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara mental untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
· Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental tentang situasi yang akan datang untuk apat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.
Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir secara nalar mempunyai dua buah kriteria penting, yaitu :
1. Ada unsur logis di dalamnya, dan
2. Ada unsur analitis di dalamnya.
Ciri pertama dari berpikir adalah adanya unsur logis di dalamnya. Tiap bentuk berpikir mempunyai logikanya sendiri. Dengan perkataan lain berpikir secara nalar tidak lain dari berpikir secara logis. Perlu juga dijelaskan, bahwa berpikir secara logis mempunyai konotasi jamak dan bukan konotasi tunggal. Karena itu, suatu kegiatan berpikir dapat saja logis menurut logika lain. Kecendrungan tersebut dapat menjurus kepada apa yang dinamakan kekacauan penalaran. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kositensi dalam menggunakan pola berpikir.
Ciri kedua dari berpikir adalah adanya unsur analitis di dalam berpikir itu sendiri. Dengan logika yang ada ketika berpikir, maka kegiatan berpikir itu secara sendirinya mempunyai sifat analitis, yang mana sifat ini merupakan konsekuensi dari adanya pola berpikir tertentu. Berpikir secara ilmiah berarti melakukan kegiatan analitis dalam menggunakan logika secara ilmiah. Dengan demikian, berpikir tidak terlepas dari daya imaginatif seseorang dalam merangkaikan rambu-rambu pikirannya ke dalam suatu pola tertentu, yang dapat timbul sebagai kejeniusan seorang ilmuawan.
Rasio atau fakta dapat merupakan sumber utama dari nalar atau sumber dari berpikir. Mereka yang berpendapat bahwa rasiolah yang merupakan sumber utama dari kebenaran dalam berpikir digolongkan dalam mazhab rasionalisme. Dilain pihak terhadap mazhab empirisme. Bagi mazhab empirisme, sumber utama dari kebenaran dalam berpikir adalah fakta yang dapat ditangkap melalui pengalaman manusia
Pada hakekatnya, berpikir secara ilmiah merupakan gabungan antara penalaran secara deduktif dan induktif. Masing-masing penalaran ini berkaitan erat dengan rasionalisme atau empirisme. Induksi merupakan cara berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Misalnya, fakta menunjukkan bahwa ayam perlu makan untuk hidup. Anjing perlu makan. Singa perlu makan. Maka dari fakta-fakta di atas, secara induktif, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semua hewan perlu makan untuk hidup. Di lain pihak, terdapat cara berpikir yang berpangkal dari pernyataan yang bersifat umum, dan dari sini ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Berpikir secara demikian dinamakan berpikir secara deduktif. Berpikir secara deduktif sering menggunakan silogisme.

PENGEMBANGAN PENDEKATAN SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT

Kesehatan masyarakat sangat penting bagi ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang menentukan daya saing bangsa. Menurut Achmad Suyudi (1999), pembangunan kesehatan merupakan pembangunan investasi SDM berkelanjutan. Namun, diakui atau tidak, dewasa ini persoalan kesehatan masyarakat semakin kompleks, baik di pedesaaan maupun di perkotaan. Menurut Surjadi (2000), seringkali kita kurang menyentuh akar pemasalahan kesehatan, seperti (a) kemiskinan dan lingkungan yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk mengakses pelayanan publik karena terbebani oleh stigma-stigma tertentu; (b) pengaruh industrialisasi, seperti pariwisata, makanan, dan perilaku; (c) faktor Psikososial keluarga dan individu, seperti stress, ketergantungan terhadap NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya); (d) factor yang berkaitan dengan anak jalanan, pekerja sector informal, pekerja seks komersial, petugas kebersihan kota, remaja kota, dan usia lanjut (manula); serta (e) faktor akibat terjadinya krisis seperti bencana banjir, gempa bumi, kebakaran,dll.
Sementara, di daerah pedesaan, sering dijumpai (a) keterbatasan jumlah tenaga medis di wilayah-wilayah pedalaman, minimnya ketrsediaan infrastruktur prasarana pelayanan kesehatan, dll. Kondisi ini menyebabkan (b) minimnya penanganan gizi buruk, busung lapar, serta diare bayi dan balita; (c) minimnya pelatihan tentang upaya perbaikan gizi masyarakat dengan pembudidayaan dan pemanfaatan berbagai sumber makanan nabati, seperti ubi-ubian, kacang-kacangan, dll. Yang dimiliki bangsa Indonesia; (d) perilaku masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kesehatannya sendiri atau keluarganya, dll. (e) ada praduga kesengajaan sistematis dari pemerintah daerah (pemda) tertentu dalam memberikan laporan objektif mengenai status kesehatan masyarakatnya, gizi buruk, dan busung lapar yang terjadi di daerahnya dengan dalih akan dicap sebagai daerah miskin atau takut dianggap gagal oleh pemerintahan yang lebih tinggi. Laporan para bidan desa (Bindes) mengenai derajat kesehatan masyarakat yang buruk, termasukkasus-kasus gizi buruk dan busung lapar, dan lain-lain disimpan dan ditutup rapat-rapat, serta memberikan laporan kepada atasan yang baik-baik.
Dengan demikia, diperlukan pengembangan pola pendekatan kesehatan masyarakat yang melibatkan berbagai pihak. Pola pendekatan bukan secara medis saja, tetapi bagaimana melakukan pendekatan kombinasi secara medis, cultural, sosiologis, berdasarkan nilai-nilai, dan keberagaman budaya bangsa Indonesia.
Pendekatan sitem Kesehatan Masyarakat
Ada lima (5) hal mendasar yang mendorong dilakukannya pengembangan sistem kesehatan masyarakat, diantaranya: (1) perubahan-perubahan mendasar pada dinamika kependudukan dewasa ini yang mendorong lahirnya transisi demografis dan epidemiologis, industrialisasi, serta urbanisasi; (2) temuan-temuan substansial dalam ilmu dan teknologi kedokteran yang membuka cakrawala baru dalam memandang proses hidup, sehat, sakit, dan mati; (3) tantangan global sebagai akibat kebijakan perdagangan bebas, serta pesatnya revolusi dalam bidang informasi, telekomunikasi, dan transportasi; (4) perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap derajat dan upaya kesehatan; serta (5) demokratisasi disegala bidang yang menuntut pemberdayaan dan kemitraan dalam pembangunan kesehatan (Depkes, 1999). Di satu pihak, penyakit-penyakit degeneratif, usia lanjut, masalah-masalah kesehatan ibu dan bayi, balita, gizi buruk, busung lapar, dan penyakit infeksi makin menonjol. Fenomena-fenomena tersebut menyebabkan biaya kesehatan menjadi semakin besar karena upaya kesehatan harus dilakukan dengan lingkup dan cakupan yang makin luas.
Hal tersebut diperkuat oleh proses industrialisasi yang berkembang begitu cepat akhir-akhir ini, yang mempunyai dampak luas bagi bidang ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan fisik dan biologik. Oleh karena itu, diperlukan sistem pendekatan yang bertumpu pada kerjasama lintas sektoral dan pendayagunaan masyarakat luas untuk menciptakan habitus baru bagi warga bangsa bagaimana hidup sehat. Paradigma hidup sehat merupakan cara pandang yang lebih mengutamakan upaya preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif untuk mengantisipasi, mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam menunjang keberhasilan pembangunan di sektor kesehatan. Sejalan dengan paradigm sehat, kemandirian masyarakat perlu didorong untuk tetap sehat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (Depkes, 1999). Beberapa pendekatan pengembangan sistem kesehatan masyarakat antara lain :
1. Pendekatan WHO dan Depkes
Badan kesehatan dunia (world Health Organization-WHO) mendefinisikan sehat sebagai “keadan sejahtera/ sehat dari fisik, mental/ rohani, dan sosial, bukan hanya terbebas dari penyakit, cacat, serta kelemahan untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Untuk sehat secara fisik maka ekonomi seseorang harus baik. Hal ini masih menjadi beban masyarakat miskin karena tidak tersedianya pangan yang cukup, daya beli masyarakat yang rendah, gagal panen, dan kesulitan distribusi. Departemen yang berhubungan antara lain Departemen Keuangan, Departemen Transmigrasi dan departemen pertanian, Tenaga Kerja, serta Departemen Koperasi. Akan tetapi, ekonomi hanyalah sebagai tujuan antara, karena masih harus sehat sosial, mental, dan religious/rohani. Seseorang belum dikatakan sehat jika tidak sehat secara sosial. Misalnya, seorang wanita yang hamil diluar nikah, seseorang yang positif terjangkit virus HIV/AIDS, dll. Ia hanya menanggung pengucilan dari masyarakat selama menjalani akhir hidupnya. Dalam hal ini, Departemen yang berhubungan dengan unsur ini, antara lain Departemen Pemberayaan Perempuan, Departemen sosial, serta Departemen Pemuda dan Olah Raga.
Kesehatan mental manusia dikaitkan dengan dinikmatinya rasa aman yang tidak menyebabkan depresi, stres, serta terancam kehidupannya. Departemen yang terkait antara lain Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Departemen Perundang-Undangan dan HAM, Departemen Pertahanan, dan Departeman Pariwisata. Sedangkan sehat secara religius berkaitan dengan Departeman Agama yang bertugas menyadarkan masyarakat dalam upaya pemantapan iman dan takwa untuk mencegah atau mengurangi penyakit-penyakit sosial masyarakat agar tidak menular ke orang lain. H. L. Blum (1974), dalam Muninjaya (1999), mengatakan bahwa kesehatan manusia dipengaruhi oleh 4 faktor, antara lain faktor genetik, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan sangat berpengaruh bagi kesehatan masyarakat. Departemen yang terkait dengan faktor ini antara lain Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah, serta Departemen Kelautan. Sedangkan Departemen yang berkaitan dengan perilaku adalah Departemen Pendidikan, yang bertugas memberikan pendidikan bagi peserta didik sejak dini mengenai bagaimana berperilaku sehat. Sementara, untuk pelayanan kesehatan, pihak swasta juga memiliki andil besar dalam peningkatan kesehatan masyarakat (Tualeka, 2000).
Tidak ada salahnya jika kita mau bercermin dari pola pendekatan pembangunan kesehatan nasional di Cina yang berhasil mencairkan dan membebaskan diri dari kebekuan serta belenggu dominasi dan eksploitasi ekonomi dunia barat. Para punggawa kekuasaan Cina ketika itu berpandangan bahwa kemampuan suatu bangsa terletak pada bagaimana mendayagunakan segenap potensi bangsa, seperti pendayagunaan tenaga-tenaga kesehatan tradisional (sinshe) dalam semua fase pembangunan kesehatan. Fase awal dilakukan dengan kampanye pendidikan kesehatan missal dalam rangka memasyarakatkan pola hidup sehat yang dikaitkan dengan ideologi Negara. Fase berikutnya adalah para sinshe dididik menjadi dokter “telanjang kaki” dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan di daerah-daerah pedalaman yang dikombinasikan dengan cara-cara pengobatan modern. Penyelenggaraan kesehatan ditingkat pemerintah merupakan tanggung jawab profesional, sedangkan di tingkat komunal menjadi tanggung jawab penyelenggara kesehatan, yaitu masyarakat (Tjiong, 1991).
Deklarasi WHO (1978) di Alma Ata tentang Health for All (HFA) merekomendasikan beberapa parameter upaya kesehatan primer (Primary Health Care – PHC), antara lain: (a) pendidikan mengenai masalah-masalah kesehatan dan metode pencegahan serta pengendalian penyakit; (b) peningkatan keadaan gizi; (c) pengadaan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai; (d) upaya kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana; (e) imunisasi terhadap penyakit-penyakit menular; (f) pencegahan dan pengendalian penyakit endemik yang menyebar di tingkat lokal secara cepat; (g) pengobatan/ penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit umum; dan (h) menyediakan obat-obat esensial (Tjiong, 1991). Departemen Kesehatan RI merencanakan program kesehatan nasioanal menuju Indonesia Sehat 2010 (HFA by 2010) sejak 1999, sebagai tindak lanjut dari deklarasi tersebut. Rumusan paradigma sehat yang diluncurkan Departemen Kesehatan (DepKes) RI antara lain: (a) lingkungan yang bebas dari polusi; (b) tersedianya air bersih; (c) sanitasi lingkungan yang memadai; (d) perumahan dan pemukiman yang sehat; (e) perencanaan kawasan yang berwawasan kesehat; serta (f) terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong-menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Keberhasilan pembangunan kesehatan seperti yang dirumuskan WHO dan DepKes RI, sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari (1) pemerintah diberbagai level – lintas sektoral; (2) perusahaan swasta – perusahaan kesehatan dan non-kesehatan (kecil, menengah, besar); institusi-institusi pendidikan (SD-Universitas); Asosiasi-asosiasi profesi kesehatan; (4) psikolog, sosiolog, antropolog, dan (5) masyarakat – kader-kader kesehatan, pengobat tradisional, LSM, institusi-institusi keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Pendekatan sistem kesehatan masyarakat yang melibatkan berbagai pihak berpandangan bahwa kesehatan bukan hanya berpusat pada kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah – DepKes, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pengendali mekanisme persaingan sehingga masyarakat Indonesia nantinya adalah masyarakat yang berperilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terpaparnya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, masyarakat mempunyai kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang berlangsung di berbagai daerah pada akhirnya adalah berhasil dan berdaya guna serta merata bagi semua orang sehingga memungkinkan setiap orang hidup produktif seara sosial dan ekonomis.
2. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan di atas akan tumbuh dan berkembang sampai akar rumput masyarakat jika proses sosialisasinya dilandasi pendekatan proses pembelajaran yang sistematis, praktis, terukur, dan berkelanjutan. Artinya, pertama-tama masyarakat perlu disadarkan bahwa tanggung jawab kesehatan masyarakat bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah atau kelompok tertentu semata, tetapi merupakan tanggung jawab setiap insane, baik atas diri individu, keluarga, lingkungan masyarakat lokal, maupun nasional sebagai bangsa yang sehat. Dengan kata lain, setiap individu dan kelompok masyarakat yang sehat secara tidak langsung telah berkonstribusi bagi keberhasilan pembangunan bangsa.
Argumentasi tersebut didasari oleh pandangan bahwa dinamika dan turbulensi lingkungan yang berubah-ubah serta tidak adanya kepastian. Juga munculnya berbagai tekanan sosial-ekonomi dan ancaman ketidaknyamanan dalam lingkungan global, membutuhkan kemampuan yang memadai tentang bagaimana mengelola dan berusaha keluar dari konflik-konflik yang dihadapi sehingga tidak menyebabkan jatuh sakit.
Tidak dinafikan pula bahwa upaya pengembangan sistem kesehatan masyarakat masih mengalami banyak kendala dan hambatan, khususnya dalam teknis operasional di lapangan. Hal ini diduga disebabkan oleh ketidaksamaan visi dari bebagai kelompok kepentingan yang perlu dilibatkan, seperti dikemukakan sebelumnya, sebagai suatu tim dalam menyukseskan program kesehatan masyarakat. Namun demikian, pengembangan sistem kesehatan masyarakat dengan pendekatan pembelajaran bersama akan bermuara pada peningkatan kualitas serta kedaulatan pengetahuan, pikiran, inteligensi, dan kebijaksanaan (wisdom) kolektif yang maju. Dalam konteks demikian, akan menciptakan suatu sistem yang secara berkelanjutan berkonstribusi bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan Negara sesuai definisi sehat yang dirumuskan WHO.
Dengan redaksi lain, dapat dikatakan bahwa hanya melalui keinginan untuk belajar hidup sehat dari setiap individu maupun kelompok masyarakat sebagai komunitaslah yang akan mampu menumbuhkan basis perilaku sehat masyarakat secara berkelanjutan. Diperlukan proses belajar bersama mengenai cara menghadapi persoalan kesehatan masyarakat dan mencari solusi alternatif pemecahan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, proses pembelajaran bermakna sebagai : (a) pengarah akan kearifan; (b) alat untuk menelusuri dan mengatasi berbagai permasalahan praktis; (c) alat untuk mengembangkan proses-proses kerja; serta (d) alat untuk membuat pengetahuan menjadi produktif. Bagian 1 menggambarkan proses pembelajaran yang berlangsung dua arah.
Pedler et al. (1991), dalam Grieves & Mathews, (1997), menyarankan agar pembelajaran lebih ditekankan pada perubahan hubungan antara partisipasi masyarakat dengan pelaksana di lapangan, sistem manajemen dengan struktur, proses pendelegasian, kekuasaan, dan pengendalian. Dengan demikian, akan dibangun sintesis inkorporasi dialektik melalui: (1) pengembangan tacit knowledge yang terus-menerus pada level individu dengan (2) pengetahuan formal, atau data, dokumen lain untuk tujuan pendekatan trend perilaku masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Bagan 1 juga menggambarkan proses feedback terhadap standar-standar dan harapan-harapan masyarakat awam secara individual; bagaimana mempelajari keberhasilan penerapan konsep sistem kesehatan di berbagai Negara; bagaimana mengembangkan teknik identifikasi mutu dan ketrampilan-ketrampilan baru yang diperlukan; serta bagaimana melakukan penelitian pasar mengenai pendapat atau opini masyarakat dan nilai-nilai yang dianut serta berkembang dalam setiap kelompok masyarakat.
Dengan demikian, gerakan menumbuhkan semangat dan perilaku hidup sehat masyarakat tidak terfokus pada aspek kuratif dan rehabilitatif semata, tetapi mampu membangun kesadaran dan habitus baru masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan promotif dalam pemeliharaan kesehatan sebagai asas dan wawasan kesehatan nasioal. Pada akhirnya, hal ini dapat mendorong kemandirian individu, baik disektor pemerintah, swasta, maupun masyarakat di pedesaan dan perkotaan, untuk berperilaku hidup sehat sebagai komitmen dan kesadaran nasional, serta memelihara dan meningkatkan kesehatan lingkungan dari level individu sampai tingkat nasional sebagai bangsa.
3. Pendekatan Terhadap Masalah
Pembelajaran penting dalam proses pengembangan kapabilitas dan kompetensi. Dalam praktiknya di lapangan, berbagai persoalan kesehatan masyarakat yang dijumpai tidak selalu sama antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Pendekatan sistem kesehatan masyarakat yang lebih mengikut sertakan bebagai pihak sebagai tim kesehatan membutuhkan kepaduan, keselarasan, dan kesamaan visi mengenai sasaran-sasaran yang ingin dicapai. Lebih dari itu adalah bagaimana membangun suatu tim kesehatan yang dapat menjadi motivator bagi masyarakat.
Bagan 2 menggambarkan proses hadap masalah (problem solving). Langkah-langkah dalam problem solving antara lain:
· Mengidentifikasi masalah seara jelas, termasuk sifat besar, sebab, dan faktor penunjang penyelesaian masalah. Jika masalahnya kompleks maka dipersempit agar mudah diatasi.
· Menetapkan skala prioritas alternatif solusi terhadap masalah yang ditemukan.
· Mendefinisikan suatu solusi yang hendak dilakukan, dengan siapa, di mana, kapan, berapa lama, dan tujuan yang ingin dicapai
· Membuat jaringan (networking) dengan berbagai pihak, seperti instansi pemerintah setempat, lembaga-lembaga pendidikan (universitas), LSM, organisasi professional, perusahaan swasta, tokoh-tokoh masyarakat, dan kader-kader kesehatan di masyarakat.
· Membuat rencana kerja (plan of action), termasuk cara evaluasi dampak kegiatan. Hal ini penting untuk mengukur efektivitas kegiatan
· Bertindak untuk melaksanakan semua rencana kerja sesuai target yang ingin dicapai.
4. Pendekatan Asuransi
Pemerintah telah mengatur mekanisme penentuan harga obat dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga obat. Perpres tersebut memberikan kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk menentukan harga obat. Menteri Kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan No. 069/MenKes/SK/II/2006 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Harga Eceran Tertinggi (HET) pada obat yang harus dicantumkan disetiap strip dan kemasan obat, dengan struktur margin laba di apotek sebesar 10% Ppn ditambah 25%
Namun, kenaikan BBM telah memengaruhi para produsen obat untuk menaikan harga obat dengan alasan biaya produksi, distribusi, propit margin, dan pajak pun turut naik. Kondisi ini tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, harga obat di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan obat sejenis di luar negri. Harga obat di luar negri murah karena mereka sudah ditopang oleh sistem pelayanan kesehatan yang berbasis asuransi, sehingga pihak asuransi akan “menekan” institusi kesehatan untuk menggunakan obat generik atau obat murah. Selain itu, di Negara-negara maju seperti AS dan Eropa, pasien sudah familiar dengan obat-obat generik sehingga bila berobat ke dokter, klinik, atau rumah sakit otomatis dokter akan meresepkan obat generik. Mereka sudah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang memadai mengenai khasiat obat-obatan yang diberikan oleh dokter atau institusi-institusi kesehatan (OTC Digest, Juni 2008).
Sebagian besar masyarakt Indonesia kini masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan dan obat yang murah. Kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setiap tahun telah berdampak pada kenaikan harga obat-obatan di pasaran. Bagi mereka yang memiliki asuransi mungkin tidak menjadi soal, tetapi bagi masyarakat yang belum mengenal asuransi, merupakan pukulan dan tekanan psikologis serta beban sosial-ekonomi.
Adapun sistem asuransi kesehatan di Indonesia sudah lama dikembangkan. Kebijakan DepKes meliputi :
a. Pengembangan jaminan kesehatan nasional (JKN) sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni bentuk jaminan kesehatan pra-bayar yang bersifat wajib bagi seluruh masyarakat.
b. Pengembangan jaminan kesehatan berbasis sukarela, yang meliputi asuransi kesehatan komersial dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) sukarela.
c. Pengembangan jaminan kesehatan sektor informal, meliputi jaminan kesehatan mikro (dana sehat) dan dana sosial masyarakat.
d. Pemeliharaan jaminan pemeliharaaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin).
Sistem asuransi yang dirintis pemerintah perlu disosialisasikan secara menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat di tanah air. Bagi masyarakat pedesaan yang berada di daerah pedalaman, belum mengenal asuransi dan manfaat-manfaatnya. Hal ini dikarenakan terbatasnya sumber daya manusia di jajaran pemerintah.
Penutup
Pembangunan kesehatan kini bukan sekedar tanggung jawab pemerintah (DepKes) semata, tetapi merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat. Pemerintah tetap menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengendali pasar.
Permasalahan-permasalahan kesehatan masyarakat yang kian kompleks, baik di daerah-daerah rural maupun di daerah-daerah urban, membutuhkan peran-aktif berbagai kelompok masyarakat untuk mencari altrnatif penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, baik alternative penyelesaian secara medis maupun non-medis. Melalui pola pendekatan yang melibatkan berbagai kluster, diharapkan mampu menumbuh-kembangkan semangat dan perilaku sehat masyarakat yang bermutu dan berkelanjutan. (MEDIKA, Jurnal Kedokteran Indonesia)

Selasa, 26 Januari 2010

KETIDAKADILAN PELAYANAN KESEHATAN

Holid Jazuli
Mahasiswa Pascasarjana
Institut Teknologi Bandung

Baru-baru ini kasus kericuhan pada antrean dukun cilik di Jombang membuat kita terpana. Keinginan masyarakat untuk sehat terhambat masalah keuangan sehingga pengobatan alternatif macam dukun cilik ini kian marak dan ramai didatangi.
Cerita orang miskin di negri ini “disandera” rumah sakit sudah biasa. Jangan pula heran jika seorang ibu muda yang baru melahirkan tidak bias membawa pulang bayinya dari klinik. Masalahnya sama, yaitu tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan. Namun akar utamanya sebenarnya adalah anggaran kesehatan sangat kecil dan sistem kesehatan yang deskriminatif.

Anggaran kesehatan di negri ini kalah jauh dengan anggaran pendidikan dan pertahanan. Dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2009 yang jumlah Rp.1.037,1 triliun. Anggaran Departemen Pendidikan Rp.207,4 triliun, Departemen Pertahanan Rp.33,7 triliun, dan Departemen Kesehatan Rp.20,3 triliun. Dari segi proporsi anggaran kesehatan itu hanya 2,8% dari total APBN 2009. Belum pernah anggaran kesehatan lebih dari 3% dari total APBN.
Dari tahun ke tahun jumlah anggaran memang meningkat, tapi proporsinya menurun. Anggaran Departemen Kesehatan tanum 2005 Rp.11,14 triliun (2,9% dari total APBN), tahun 2006 Rp.13,98 triliun (2,3% dari total APBN), tahun 2007 Rp.18,75 triliun (2,7% dari total APBN), dan tahun 2008 Rp.18,76 riliun (2,49% dari total APBN). Angka ini jauh dari anggaran yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15% dari APBN. Meski anggaran ini ditambah APBD, dana alokasi khusus, dan pinjaman hibah luar negri (PHLN), tetap saja jumlahnya kurang dari standar WHO.

Mengapa anggaran kesehatan sangat kecil? Para pejabat negri ini belum sepenuhnya memperhatikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan fisik mendominasi benak para pengambil kebijakan.
Padahal, sudah banyak penelitian membuktikan bahwa warga Negara yang sehat akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bersama yang lebih baik. Sampai kini, untuk melayani kesehatan dasar (untuk menyembuhkan warga sakit) pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki masyarakat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Target mengurangi kematian bayi dan kematian ibu serta meningkatkan umur harapan hidup bias terancam gagal jika pemerintah tidak bekerja lebih keras lagi untuk mencapai hasil yang maksimal

Untuk memecahkan persoalan tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan Program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) atau kini diganti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini memberikan harapan bahwa akses untuk masyarakat bawah mulai terbuka.
Harus diakui dalam kasus Askeskin memang terjadi mismanagemen, pendataan yang kurang maksimal, klaim bermasalah, dan kekurangan lain, tapi bukan berarti tiada harapan.
Sampai kini baru Sumatera Selatan yang mengadopsi kebijakan Jamkesmas dan beberapa rumah sakit yang ditunjuk Departemen Kesehatan. Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Cakupan Jamkesmas harus diperluas lagi agar usia harapan hidup terus meningkat. Menteri Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib kesehatan kelas bawah.

Sistem Pasar Bebas

Sistem kesehatan tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Dalam sistem ini, orang yang mempunyai duit banyak bias memperoleh layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan bias diakses sasuai dengan tebal atau tipisnya kantong seorang pasien.

Warga yang miskin tidak mampu berobat, hanya menunggu keajaiban dari Tuhan atau menunggu ajal menjemput. Padahal, sakit bukan hanya menimpa orang-orang kelas menengah ke atas. Semua warga Negara berpeluang sakit. Bahkan dikalangan orang miskin, potensi untuk sakit lebih besar karena asupan gizi yang buruk, akses informasi medis yang minim, gaya hidup yang buruk, dan kemampuan berobat yang rendah. Lebih buruk lagi, penyakit orang miskin umumnya bertumpuk-tumpuk karena saat penyakit pertama belum senbuh datang penyakit kedua dan seterusnya.
Pada saat yang bersamaan, beberapa rumah sakit milik pemerintah daerah dijadikan sumber pendapatan. Privatisasi rumah sakit ini telah mengancam orang-orang miskin ke sudut yang makin terpuruk.
Resikonya, rumah sakit tak ubahnya perusahaan komersil lain yang berorientasi keuntungan. Orang-orang miskin akan ditolak rumah sakit karena mereka miskin. Biaya pelayanan kesehatan selalu lebih mahal untuk ukuran ekonomi rata-rata masyarakat. Apalagi system membayar uang tunai langsung membuat beban pasien dan keluarganya makin berat.
Kita bias belajar dari Negara-negara maju dalam menciptakan system kesehatan yang adil dan merata. Salah satu penyebab kemenangan Barack Obama di Amerika Serikat adalah rencana system kesehatan yang dia tawarkan lebih baik dari rivalnya, John McCain. Untuk rakyat miskin AS yang berjumlah 47 juta jiwa, Obama menyediakan asuransi model subsidi.

Anak-anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua penduduk dewasa juga harus mempunyainya. Bagi rakyat miskin, premi akan dibayar pemerintah yang dananya diperoleh dari anggararan pemerintah federal, Negara bagian, iuran perusahaan, dan iuran dari kalangan mampu. Saat warga miskin jatuh sakit, dia memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengeluarkan uang.
Intervensi Pemerintah

Seandainya semua warga Negara Indonesia mempunyai penghasilan yang sama besarnya, akses terhadap pelayanan kesehatan tidak ada masalah. Faktanya, kesenjangan pendapatan yang lebar telah membuat akses pelayanan berada dalam jurang ketidakadilan.
Tidak ada jalan lain kecuali Departemen Kesehatan segera memperbaiki system jaminan kesehatan yang lebih baik bagi rakyat miskin. Idealnya, semua warga Negara tanpa pandang kelas ekonomi, jenis kelamin, dan geografis bias mengakses pelayanan kesehatan dengan cukup. Komisi Kesehatan dan Kependudukan di parlemen mestinya berteriak lebih keras supaya pemerintah menaikkan anggaran kesehatan.

Meski Pemelihan Presiden/Wakil Prisiden 2009 tinggal beberapa bulan, tak satupun calon presiden dan wakil presiden yang mengajukan taearan kebijakan dibidang kesehatan ke public. Dalam iklan-iklan politiknya, mereka lebih banyak beretorika tanpa memberi tawaran kebijakan yang konkret dan detail di bidang kesehatan.
Beranikah presiden yang terpilih nanti meneikkan anggaran kesehatan dan menciptakan system jaminan kesehatan lebih adil?

INDONESIA SEHAT 2010

II. DASAR PEMBANGUNAN KESEHATAN

Landasan idiil pembangunan nasional adalah Pancasila. Sedangkan landasan konstitusional adalah Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomi. Sedangkan dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 disepakati antara lain bahwadiperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya.

Dasar-dasar pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah nilai kebenaran atau aturan pokok sebagai landasan untuk berfikir atau bertindak dalam pembangunan kesehatan. Dasar-dasar ini merupakan landasan dalam penyusunan visi, misi, dan strategi serta sebagai petunjuk pokok pelaksanaan pembangunan kesehatan secara nasional yang meliputi :

A. Dasar Perikemanusiaan
Setiap upaya kesehatan harus berlandaskan perikemanusiaan yang dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tenaga kesehatan perlu berbudi luhur dan memegang teguh etika profesi.

B. Dasar Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan pemerintah berperan, berkewajiban, dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, warga dan lingkungannya. Setiap upaya kesehatan harus mampu membangkitkan dan mendorong peran serta masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan berkepribadikan bangsa.

C. Dasar Adil dan Merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya.

D. Dasar Pengutamaan dan Manfaat
Penyelenggaraan upaya kesehatan bermutu yang mengikuti perkembangan IPTEK, lebih mengutamakan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, dan pencegahan penyakit, serta dilaksanakan secara professional mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi daerah, berhasil guna dan berdaya guna. Upaya kesehatan diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, serta dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.