Selasa, 26 Januari 2010

KETIDAKADILAN PELAYANAN KESEHATAN

Holid Jazuli
Mahasiswa Pascasarjana
Institut Teknologi Bandung

Baru-baru ini kasus kericuhan pada antrean dukun cilik di Jombang membuat kita terpana. Keinginan masyarakat untuk sehat terhambat masalah keuangan sehingga pengobatan alternatif macam dukun cilik ini kian marak dan ramai didatangi.
Cerita orang miskin di negri ini “disandera” rumah sakit sudah biasa. Jangan pula heran jika seorang ibu muda yang baru melahirkan tidak bias membawa pulang bayinya dari klinik. Masalahnya sama, yaitu tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan. Namun akar utamanya sebenarnya adalah anggaran kesehatan sangat kecil dan sistem kesehatan yang deskriminatif.

Anggaran kesehatan di negri ini kalah jauh dengan anggaran pendidikan dan pertahanan. Dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2009 yang jumlah Rp.1.037,1 triliun. Anggaran Departemen Pendidikan Rp.207,4 triliun, Departemen Pertahanan Rp.33,7 triliun, dan Departemen Kesehatan Rp.20,3 triliun. Dari segi proporsi anggaran kesehatan itu hanya 2,8% dari total APBN 2009. Belum pernah anggaran kesehatan lebih dari 3% dari total APBN.
Dari tahun ke tahun jumlah anggaran memang meningkat, tapi proporsinya menurun. Anggaran Departemen Kesehatan tanum 2005 Rp.11,14 triliun (2,9% dari total APBN), tahun 2006 Rp.13,98 triliun (2,3% dari total APBN), tahun 2007 Rp.18,75 triliun (2,7% dari total APBN), dan tahun 2008 Rp.18,76 riliun (2,49% dari total APBN). Angka ini jauh dari anggaran yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15% dari APBN. Meski anggaran ini ditambah APBD, dana alokasi khusus, dan pinjaman hibah luar negri (PHLN), tetap saja jumlahnya kurang dari standar WHO.

Mengapa anggaran kesehatan sangat kecil? Para pejabat negri ini belum sepenuhnya memperhatikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan fisik mendominasi benak para pengambil kebijakan.
Padahal, sudah banyak penelitian membuktikan bahwa warga Negara yang sehat akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bersama yang lebih baik. Sampai kini, untuk melayani kesehatan dasar (untuk menyembuhkan warga sakit) pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki masyarakat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Target mengurangi kematian bayi dan kematian ibu serta meningkatkan umur harapan hidup bias terancam gagal jika pemerintah tidak bekerja lebih keras lagi untuk mencapai hasil yang maksimal

Untuk memecahkan persoalan tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan Program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) atau kini diganti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini memberikan harapan bahwa akses untuk masyarakat bawah mulai terbuka.
Harus diakui dalam kasus Askeskin memang terjadi mismanagemen, pendataan yang kurang maksimal, klaim bermasalah, dan kekurangan lain, tapi bukan berarti tiada harapan.
Sampai kini baru Sumatera Selatan yang mengadopsi kebijakan Jamkesmas dan beberapa rumah sakit yang ditunjuk Departemen Kesehatan. Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Cakupan Jamkesmas harus diperluas lagi agar usia harapan hidup terus meningkat. Menteri Kesehatan harus lebih tegas dan lebih berani untuk memperjuangkan nasib kesehatan kelas bawah.

Sistem Pasar Bebas

Sistem kesehatan tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Dalam sistem ini, orang yang mempunyai duit banyak bias memperoleh layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan bias diakses sasuai dengan tebal atau tipisnya kantong seorang pasien.

Warga yang miskin tidak mampu berobat, hanya menunggu keajaiban dari Tuhan atau menunggu ajal menjemput. Padahal, sakit bukan hanya menimpa orang-orang kelas menengah ke atas. Semua warga Negara berpeluang sakit. Bahkan dikalangan orang miskin, potensi untuk sakit lebih besar karena asupan gizi yang buruk, akses informasi medis yang minim, gaya hidup yang buruk, dan kemampuan berobat yang rendah. Lebih buruk lagi, penyakit orang miskin umumnya bertumpuk-tumpuk karena saat penyakit pertama belum senbuh datang penyakit kedua dan seterusnya.
Pada saat yang bersamaan, beberapa rumah sakit milik pemerintah daerah dijadikan sumber pendapatan. Privatisasi rumah sakit ini telah mengancam orang-orang miskin ke sudut yang makin terpuruk.
Resikonya, rumah sakit tak ubahnya perusahaan komersil lain yang berorientasi keuntungan. Orang-orang miskin akan ditolak rumah sakit karena mereka miskin. Biaya pelayanan kesehatan selalu lebih mahal untuk ukuran ekonomi rata-rata masyarakat. Apalagi system membayar uang tunai langsung membuat beban pasien dan keluarganya makin berat.
Kita bias belajar dari Negara-negara maju dalam menciptakan system kesehatan yang adil dan merata. Salah satu penyebab kemenangan Barack Obama di Amerika Serikat adalah rencana system kesehatan yang dia tawarkan lebih baik dari rivalnya, John McCain. Untuk rakyat miskin AS yang berjumlah 47 juta jiwa, Obama menyediakan asuransi model subsidi.

Anak-anak AS wajib dilindungi asuransi kesehatan dan semua penduduk dewasa juga harus mempunyainya. Bagi rakyat miskin, premi akan dibayar pemerintah yang dananya diperoleh dari anggararan pemerintah federal, Negara bagian, iuran perusahaan, dan iuran dari kalangan mampu. Saat warga miskin jatuh sakit, dia memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengeluarkan uang.
Intervensi Pemerintah

Seandainya semua warga Negara Indonesia mempunyai penghasilan yang sama besarnya, akses terhadap pelayanan kesehatan tidak ada masalah. Faktanya, kesenjangan pendapatan yang lebar telah membuat akses pelayanan berada dalam jurang ketidakadilan.
Tidak ada jalan lain kecuali Departemen Kesehatan segera memperbaiki system jaminan kesehatan yang lebih baik bagi rakyat miskin. Idealnya, semua warga Negara tanpa pandang kelas ekonomi, jenis kelamin, dan geografis bias mengakses pelayanan kesehatan dengan cukup. Komisi Kesehatan dan Kependudukan di parlemen mestinya berteriak lebih keras supaya pemerintah menaikkan anggaran kesehatan.

Meski Pemelihan Presiden/Wakil Prisiden 2009 tinggal beberapa bulan, tak satupun calon presiden dan wakil presiden yang mengajukan taearan kebijakan dibidang kesehatan ke public. Dalam iklan-iklan politiknya, mereka lebih banyak beretorika tanpa memberi tawaran kebijakan yang konkret dan detail di bidang kesehatan.
Beranikah presiden yang terpilih nanti meneikkan anggaran kesehatan dan menciptakan system jaminan kesehatan lebih adil?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar