Minggu, 07 Februari 2010

BERPIKIR

Apakah berpikir itu?
Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambing-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak (Floyd L. Ruch dlm bukunya yg klasik, Psychology and Life (1976)).
Menurut Paul Mussen dan Mark R. Rosenzweig, “The term ‘thinking’ refers to many kind of activities that involve the manipulation of concept and symbols, representation of objects and event” (1973). Jadi, berpikir menunjukkan berbagai kegiatan yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang, sebagai pengganti objek dan peristiwa.
Jelas berpikir melibatkan penggunaan lambing, visual atau grafis. Tetapi untuk apa orang berpikir? Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity). Memahami relitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Sehingga dengan singkat, Anita Taylor et al. Mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process (Taylor et al. 1977).
Bagaimana Orang Berpikir?
Bagaimana orang berpikir? Atau bagaimana orang menarik kesimpulan? Secara garis besar ada dua macam berpikir: berpikir autistik dan berpikir realistik. Yang pertama mungkin lebih tepat disebut melamun. Fantasi, menghayal, wishful thinking, adalah contoh-contohnya. Dengan berpikir autistik orang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Berpikir realistik, disebut juga nalar (reasoning), ialah berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Floyd L. Ruch menyebut tiga macam berpikir realistik : deduktif, induktif, evaluative (Ruch, 1967).
Berpikir deduktif ialah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan; yang pertama merupakan pernyataan umum. Dalam logika, ini disebut silogisme. Contoh yang klasik adalah:
Semua manusia bakal mati.
Socrates manusia.
Jadi, Socrates bakal mati.
Berpikir deduktif dapat dirumuskan,”Jika A benar, dan B benar, maka akan terjadi C.”Jika semua mahasiswa belajar di perguruan tinggi, dan Tobing mahasiswa, maka pasti Tobing belajar di perguruan tinggi. Dalam berpikir deduktif, kita mulai dari hal-hal yang umum pada hal-hal yang khusus.
Berpikir induktif sebaliknya, dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum; kita melakukan generalisasi. Saya bertemu dengan asep, mahasiswa FIKOM. Ia pandai bicara. Saya berjumpa dengan Heli, Yeni, Hamdan; semuanya mahasiswa FIKOM dan pandai bicara. Saya menyimpulkan, mahasiswa FIKOM pandai bicara. Ketepatan berpikir induktif bergantung pada memadainya kasus yang dijadikan dasar. Misalnya, apakah lima orang mahasiswa FIKOM cukup untuk dijadikan sampel yang representative.
Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilai menurut criteria tertentu. Menurut perkembangan mutakhir psikologi kognitif, manusia lebih sering berpikir tidak logis daripada berpikir logis seperti berpikir deduktif. Kata Morton Hunt (1982).”…logical reasoning is not our usual – or natural – practice, and the technically invalid kinds or reasoning we generally employ work rather well in most of the everyday situations,…”(Berpikir logis bukanlah kebiasaan kita atau hal yang alamiah. Dan cara berpikir yang menurut kaidah logika tidak valid, yang biasanya kita lakukan, justru berjalan agak baik dalam kebanyakan situasi sehari-hari). Berpikir tidak logis ternyata lebih praktis, efisien, dan bermanfaat. Terkenal ucapan Wason dan Johnsohn-Laird,.”At best, we can all think like logicians; at worst, logicians all think like us” (Pada keadaan terbaik, kita semua dapat berpikir seperti ahli logika; dalam keadaan terjelek, ahli logika semua berpikir seperti kita).
Kalau begitu, tentu hanya mereka yang ahli saja yang dapat berpikir logis. Sudah lama di duga orang bahwa wanita, anak kecil, rakyat pedesaan, atau orang berpendidikan rendah, berpikir tidak logis. Yang logis hanya ilmuan, kaum professional, dan pejabat. Anggapan ini tidak benar. Paul E. Johnson meneliti cara berpikir ilmuan dan ahli dari berbagai profesi. Ia menulis,”Saya selalu terkejut menyaksikan, bahwa ahli-ahli yang kami teliti sangat jarang melakukan berpikir seperti logika formal. Kebanyakan mereka melakukan berpikir inferensial kira-kira, yang didasarkan pada pengenalan persamaan” (Hunt, 1982). Ole R. Hasti dan Alexander George – Keduanya sarjana ilmu politik – menemukan bahwa pengambil keputusan luar negri di tingkat atas lebih banyak menetapkan keputusan berdasarkan proses yang irasional.
Inilah yang disebut berpikir inalogis; umumnya orang menggunakan perbandingan atau kontras. Jika anda mengatakan bahwa kehidupan di Yugoslavia seperti Belanda, anda menggunakan perbandingan. Jika anda membandingkan keadaan pedesaan Indonesia sebelum dan sesudah Orde Baru, anda menggunakan kontras. Robert J. Sternberg, psikolog dari Yale, meneliti penggunaan analogi ini (Sternberg, 1977). Ia menulis “Kita berpikir secara analogis setiap kali kita menetapkan keputusan tentang sesuatu yang baru dalam pengalaman kita, dengan menghubungkannya pada sesuatu yang sama pada masa lalu. Bila kita membeli ikan mas, karena kita menyukai ikan mas yang dulu, atau jika kita mendengar nasihat kawan, karena dahulu nasihatnya benar, kita berpikir secara analogis.”
Lucunya, berpikir analogis yang tidak logis itu paling sering kita gunakan untuk menetapkan keputusan, memecahkan soal, dan melahirkan gagasan baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar