Rabu, 17 Februari 2010

KONSEP HEALTH ECONOMIC ATASI MASALAH PEMBIAYAAN KESEHATAN

Saat ini, pelayanan kesehatan belum dinikmati secara merata oleh penduduk Indonesia. Ini terjadi karena terdapat beberapa perbedan seperti jarak geografis, latar belakang pendidikan, keyakinan, status sosial ekonomi, dan kurang cakupan jaminin kesehatan. Para pakar beranggapan bahwa evaluasi ekonomi untuk efisiensi pembiayaan kesehatan dapat lebih mengoptimalkan hasil pengobatan dengan pendanaan yang terbatas.

Sistem kesehatan di Indonesia masih didominasi oleh sistem pasar bebas tanpa standar produk dan harga. Pada sistem ini, mekanisme pasar bagus jika syarat tertentu terpenuhi dan ada standar. Selain itu, mekanisme pasar akan cost effetive jika ada informasi simetri di mana konsumen memiliki kemampuan mengevaluasi dan memilih produk atau pelayanan secara obyektif. Namun, pada kenyataannya, kedua kondisi tersebut tidak sesuai dengan perawatan kesehatan yang sesungguhnya. Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, dalam Diskusi Media dengan tema “Health econimic: Patient and Pharmaceutical Use” di Hotel Borobudur, 12 Januari 2010.

Dalam kurun waktu tujuh tahun, belanja kesehatan perkapita Indonesia meningkat tiga kali lipat.”Belanja kesehatan perkapita Indonesia pada 2009 meningkat tajam menjadi 494.000 atau tiga kali lipat pengeluaran pada 2002,” Ungkap Prof. Hasbullah. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan demografis, epidemiologi, dan meningkatnya usia harapan hidup. Disisi lain, inovasi dan perkembangan di bidang teknologi kedokteran serta obat-obatan juga perkembang pesat sehingga biaya pengobatan yang mahal harus ditanggung pasien. Mendapati kondisi demikian, harus dilakukan evaluasi ekonomi yang tepat agar menghasilkan kebijakan kesehatan yang sesuai.”Untuk dapat memenuhi kebutuhan kesehatan yang berkualitas dan cost effective, kebijakan kesehatan sebaiknya melalui evaluasi ekonomi yang tepat,”tegasnya.

Pendekatan tersebut dikenal dengan Health economics yang menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pada fenomena dan masalah-masalah kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Health economics berfokus pada dua hal, yakni mobilisasi dana dan belanja kesehatan yang efisien. Pada 2005, WHO menekankan perlunya mobilisasi dana untuk cakupan jaminan sosial. Sebagai contoh, obat murah sering tidak diyakini efektif, sedangkan obat yang satuannya mahal belum tentu kurang Cost Effective dalam jangka panjang. Terkadang, pasien kurang menyakini kondisi yang demikian. Akibatnya, terjadi banyak pemborosan, baik karena penggunaan obat murah tapi kurang efektif ataupun obat mahal yang tidak tepat.

Pakar kesehatan masyarakat dari Amerika Serikat Prof. Diana I. Brixner, RPh, PhD, juga sependapat dalam penerapan konsep Health Economics. Menurutnya, konsep tersebut dapat membantu menghemat biaya kesehatan secara berkualitas dan tepat guna. Sebelumnya, kebijakan kesehatan acap kali didasarkan pada tingkat efikasi dan khasiat terapi bagi pasien tanpa mempertimbangkan faktor biaya sama sekali. Namun, analisis ini tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini. “Populasi yang semakin meningkat dan alokasi pembiayaan kesehatan yang minim di negara-negara berkembang mengharuskan adanya sebuah analisis evektifitas dan efisiensi inovasi kesehatan di dunia nyata,”ungkapnya.

Dalam penerapannya, Health Economics memerlukan dukungan penuh dari pemerintah, akademisi, peneliti, dan komunitas media lainnya agar dapat mengatasi permasalahn kesehatan, khususnya penggunaan obat. Dengan memperkuat pengetahuan akan Health Economics, diharapkan tercipta sekelompok ahli evaluasi ekonomi yang dapat mendorong terwujudnya sistem kesehatan yang merata dan efisien di Indonesia. (MEDIKA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar