Minggu, 07 Februari 2010

PENGEMBANGAN PENDEKATAN SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT

Kesehatan masyarakat sangat penting bagi ketersediaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang menentukan daya saing bangsa. Menurut Achmad Suyudi (1999), pembangunan kesehatan merupakan pembangunan investasi SDM berkelanjutan. Namun, diakui atau tidak, dewasa ini persoalan kesehatan masyarakat semakin kompleks, baik di pedesaaan maupun di perkotaan. Menurut Surjadi (2000), seringkali kita kurang menyentuh akar pemasalahan kesehatan, seperti (a) kemiskinan dan lingkungan yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk mengakses pelayanan publik karena terbebani oleh stigma-stigma tertentu; (b) pengaruh industrialisasi, seperti pariwisata, makanan, dan perilaku; (c) faktor Psikososial keluarga dan individu, seperti stress, ketergantungan terhadap NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya); (d) factor yang berkaitan dengan anak jalanan, pekerja sector informal, pekerja seks komersial, petugas kebersihan kota, remaja kota, dan usia lanjut (manula); serta (e) faktor akibat terjadinya krisis seperti bencana banjir, gempa bumi, kebakaran,dll.
Sementara, di daerah pedesaan, sering dijumpai (a) keterbatasan jumlah tenaga medis di wilayah-wilayah pedalaman, minimnya ketrsediaan infrastruktur prasarana pelayanan kesehatan, dll. Kondisi ini menyebabkan (b) minimnya penanganan gizi buruk, busung lapar, serta diare bayi dan balita; (c) minimnya pelatihan tentang upaya perbaikan gizi masyarakat dengan pembudidayaan dan pemanfaatan berbagai sumber makanan nabati, seperti ubi-ubian, kacang-kacangan, dll. Yang dimiliki bangsa Indonesia; (d) perilaku masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kesehatannya sendiri atau keluarganya, dll. (e) ada praduga kesengajaan sistematis dari pemerintah daerah (pemda) tertentu dalam memberikan laporan objektif mengenai status kesehatan masyarakatnya, gizi buruk, dan busung lapar yang terjadi di daerahnya dengan dalih akan dicap sebagai daerah miskin atau takut dianggap gagal oleh pemerintahan yang lebih tinggi. Laporan para bidan desa (Bindes) mengenai derajat kesehatan masyarakat yang buruk, termasukkasus-kasus gizi buruk dan busung lapar, dan lain-lain disimpan dan ditutup rapat-rapat, serta memberikan laporan kepada atasan yang baik-baik.
Dengan demikia, diperlukan pengembangan pola pendekatan kesehatan masyarakat yang melibatkan berbagai pihak. Pola pendekatan bukan secara medis saja, tetapi bagaimana melakukan pendekatan kombinasi secara medis, cultural, sosiologis, berdasarkan nilai-nilai, dan keberagaman budaya bangsa Indonesia.
Pendekatan sitem Kesehatan Masyarakat
Ada lima (5) hal mendasar yang mendorong dilakukannya pengembangan sistem kesehatan masyarakat, diantaranya: (1) perubahan-perubahan mendasar pada dinamika kependudukan dewasa ini yang mendorong lahirnya transisi demografis dan epidemiologis, industrialisasi, serta urbanisasi; (2) temuan-temuan substansial dalam ilmu dan teknologi kedokteran yang membuka cakrawala baru dalam memandang proses hidup, sehat, sakit, dan mati; (3) tantangan global sebagai akibat kebijakan perdagangan bebas, serta pesatnya revolusi dalam bidang informasi, telekomunikasi, dan transportasi; (4) perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap derajat dan upaya kesehatan; serta (5) demokratisasi disegala bidang yang menuntut pemberdayaan dan kemitraan dalam pembangunan kesehatan (Depkes, 1999). Di satu pihak, penyakit-penyakit degeneratif, usia lanjut, masalah-masalah kesehatan ibu dan bayi, balita, gizi buruk, busung lapar, dan penyakit infeksi makin menonjol. Fenomena-fenomena tersebut menyebabkan biaya kesehatan menjadi semakin besar karena upaya kesehatan harus dilakukan dengan lingkup dan cakupan yang makin luas.
Hal tersebut diperkuat oleh proses industrialisasi yang berkembang begitu cepat akhir-akhir ini, yang mempunyai dampak luas bagi bidang ekonomi, sosial-budaya, maupun lingkungan fisik dan biologik. Oleh karena itu, diperlukan sistem pendekatan yang bertumpu pada kerjasama lintas sektoral dan pendayagunaan masyarakat luas untuk menciptakan habitus baru bagi warga bangsa bagaimana hidup sehat. Paradigma hidup sehat merupakan cara pandang yang lebih mengutamakan upaya preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif untuk mengantisipasi, mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam menunjang keberhasilan pembangunan di sektor kesehatan. Sejalan dengan paradigm sehat, kemandirian masyarakat perlu didorong untuk tetap sehat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (Depkes, 1999). Beberapa pendekatan pengembangan sistem kesehatan masyarakat antara lain :
1. Pendekatan WHO dan Depkes
Badan kesehatan dunia (world Health Organization-WHO) mendefinisikan sehat sebagai “keadan sejahtera/ sehat dari fisik, mental/ rohani, dan sosial, bukan hanya terbebas dari penyakit, cacat, serta kelemahan untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.”
Untuk sehat secara fisik maka ekonomi seseorang harus baik. Hal ini masih menjadi beban masyarakat miskin karena tidak tersedianya pangan yang cukup, daya beli masyarakat yang rendah, gagal panen, dan kesulitan distribusi. Departemen yang berhubungan antara lain Departemen Keuangan, Departemen Transmigrasi dan departemen pertanian, Tenaga Kerja, serta Departemen Koperasi. Akan tetapi, ekonomi hanyalah sebagai tujuan antara, karena masih harus sehat sosial, mental, dan religious/rohani. Seseorang belum dikatakan sehat jika tidak sehat secara sosial. Misalnya, seorang wanita yang hamil diluar nikah, seseorang yang positif terjangkit virus HIV/AIDS, dll. Ia hanya menanggung pengucilan dari masyarakat selama menjalani akhir hidupnya. Dalam hal ini, Departemen yang berhubungan dengan unsur ini, antara lain Departemen Pemberayaan Perempuan, Departemen sosial, serta Departemen Pemuda dan Olah Raga.
Kesehatan mental manusia dikaitkan dengan dinikmatinya rasa aman yang tidak menyebabkan depresi, stres, serta terancam kehidupannya. Departemen yang terkait antara lain Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Departemen Perundang-Undangan dan HAM, Departemen Pertahanan, dan Departeman Pariwisata. Sedangkan sehat secara religius berkaitan dengan Departeman Agama yang bertugas menyadarkan masyarakat dalam upaya pemantapan iman dan takwa untuk mencegah atau mengurangi penyakit-penyakit sosial masyarakat agar tidak menular ke orang lain. H. L. Blum (1974), dalam Muninjaya (1999), mengatakan bahwa kesehatan manusia dipengaruhi oleh 4 faktor, antara lain faktor genetik, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan sangat berpengaruh bagi kesehatan masyarakat. Departemen yang terkait dengan faktor ini antara lain Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Pemukiman dan Pengembangan Wilayah, serta Departemen Kelautan. Sedangkan Departemen yang berkaitan dengan perilaku adalah Departemen Pendidikan, yang bertugas memberikan pendidikan bagi peserta didik sejak dini mengenai bagaimana berperilaku sehat. Sementara, untuk pelayanan kesehatan, pihak swasta juga memiliki andil besar dalam peningkatan kesehatan masyarakat (Tualeka, 2000).
Tidak ada salahnya jika kita mau bercermin dari pola pendekatan pembangunan kesehatan nasional di Cina yang berhasil mencairkan dan membebaskan diri dari kebekuan serta belenggu dominasi dan eksploitasi ekonomi dunia barat. Para punggawa kekuasaan Cina ketika itu berpandangan bahwa kemampuan suatu bangsa terletak pada bagaimana mendayagunakan segenap potensi bangsa, seperti pendayagunaan tenaga-tenaga kesehatan tradisional (sinshe) dalam semua fase pembangunan kesehatan. Fase awal dilakukan dengan kampanye pendidikan kesehatan missal dalam rangka memasyarakatkan pola hidup sehat yang dikaitkan dengan ideologi Negara. Fase berikutnya adalah para sinshe dididik menjadi dokter “telanjang kaki” dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan di daerah-daerah pedalaman yang dikombinasikan dengan cara-cara pengobatan modern. Penyelenggaraan kesehatan ditingkat pemerintah merupakan tanggung jawab profesional, sedangkan di tingkat komunal menjadi tanggung jawab penyelenggara kesehatan, yaitu masyarakat (Tjiong, 1991).
Deklarasi WHO (1978) di Alma Ata tentang Health for All (HFA) merekomendasikan beberapa parameter upaya kesehatan primer (Primary Health Care – PHC), antara lain: (a) pendidikan mengenai masalah-masalah kesehatan dan metode pencegahan serta pengendalian penyakit; (b) peningkatan keadaan gizi; (c) pengadaan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai; (d) upaya kesehatan ibu dan anak, termasuk keluarga berencana; (e) imunisasi terhadap penyakit-penyakit menular; (f) pencegahan dan pengendalian penyakit endemik yang menyebar di tingkat lokal secara cepat; (g) pengobatan/ penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit umum; dan (h) menyediakan obat-obat esensial (Tjiong, 1991). Departemen Kesehatan RI merencanakan program kesehatan nasioanal menuju Indonesia Sehat 2010 (HFA by 2010) sejak 1999, sebagai tindak lanjut dari deklarasi tersebut. Rumusan paradigma sehat yang diluncurkan Departemen Kesehatan (DepKes) RI antara lain: (a) lingkungan yang bebas dari polusi; (b) tersedianya air bersih; (c) sanitasi lingkungan yang memadai; (d) perumahan dan pemukiman yang sehat; (e) perencanaan kawasan yang berwawasan kesehat; serta (f) terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong-menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Keberhasilan pembangunan kesehatan seperti yang dirumuskan WHO dan DepKes RI, sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari (1) pemerintah diberbagai level – lintas sektoral; (2) perusahaan swasta – perusahaan kesehatan dan non-kesehatan (kecil, menengah, besar); institusi-institusi pendidikan (SD-Universitas); Asosiasi-asosiasi profesi kesehatan; (4) psikolog, sosiolog, antropolog, dan (5) masyarakat – kader-kader kesehatan, pengobat tradisional, LSM, institusi-institusi keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Pendekatan sistem kesehatan masyarakat yang melibatkan berbagai pihak berpandangan bahwa kesehatan bukan hanya berpusat pada kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah – DepKes, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu sendiri. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pengendali mekanisme persaingan sehingga masyarakat Indonesia nantinya adalah masyarakat yang berperilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terpaparnya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, masyarakat mempunyai kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang berlangsung di berbagai daerah pada akhirnya adalah berhasil dan berdaya guna serta merata bagi semua orang sehingga memungkinkan setiap orang hidup produktif seara sosial dan ekonomis.
2. Pendekatan Pembelajaran
Pendekatan di atas akan tumbuh dan berkembang sampai akar rumput masyarakat jika proses sosialisasinya dilandasi pendekatan proses pembelajaran yang sistematis, praktis, terukur, dan berkelanjutan. Artinya, pertama-tama masyarakat perlu disadarkan bahwa tanggung jawab kesehatan masyarakat bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah atau kelompok tertentu semata, tetapi merupakan tanggung jawab setiap insane, baik atas diri individu, keluarga, lingkungan masyarakat lokal, maupun nasional sebagai bangsa yang sehat. Dengan kata lain, setiap individu dan kelompok masyarakat yang sehat secara tidak langsung telah berkonstribusi bagi keberhasilan pembangunan bangsa.
Argumentasi tersebut didasari oleh pandangan bahwa dinamika dan turbulensi lingkungan yang berubah-ubah serta tidak adanya kepastian. Juga munculnya berbagai tekanan sosial-ekonomi dan ancaman ketidaknyamanan dalam lingkungan global, membutuhkan kemampuan yang memadai tentang bagaimana mengelola dan berusaha keluar dari konflik-konflik yang dihadapi sehingga tidak menyebabkan jatuh sakit.
Tidak dinafikan pula bahwa upaya pengembangan sistem kesehatan masyarakat masih mengalami banyak kendala dan hambatan, khususnya dalam teknis operasional di lapangan. Hal ini diduga disebabkan oleh ketidaksamaan visi dari bebagai kelompok kepentingan yang perlu dilibatkan, seperti dikemukakan sebelumnya, sebagai suatu tim dalam menyukseskan program kesehatan masyarakat. Namun demikian, pengembangan sistem kesehatan masyarakat dengan pendekatan pembelajaran bersama akan bermuara pada peningkatan kualitas serta kedaulatan pengetahuan, pikiran, inteligensi, dan kebijaksanaan (wisdom) kolektif yang maju. Dalam konteks demikian, akan menciptakan suatu sistem yang secara berkelanjutan berkonstribusi bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan Negara sesuai definisi sehat yang dirumuskan WHO.
Dengan redaksi lain, dapat dikatakan bahwa hanya melalui keinginan untuk belajar hidup sehat dari setiap individu maupun kelompok masyarakat sebagai komunitaslah yang akan mampu menumbuhkan basis perilaku sehat masyarakat secara berkelanjutan. Diperlukan proses belajar bersama mengenai cara menghadapi persoalan kesehatan masyarakat dan mencari solusi alternatif pemecahan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, proses pembelajaran bermakna sebagai : (a) pengarah akan kearifan; (b) alat untuk menelusuri dan mengatasi berbagai permasalahan praktis; (c) alat untuk mengembangkan proses-proses kerja; serta (d) alat untuk membuat pengetahuan menjadi produktif. Bagian 1 menggambarkan proses pembelajaran yang berlangsung dua arah.
Pedler et al. (1991), dalam Grieves & Mathews, (1997), menyarankan agar pembelajaran lebih ditekankan pada perubahan hubungan antara partisipasi masyarakat dengan pelaksana di lapangan, sistem manajemen dengan struktur, proses pendelegasian, kekuasaan, dan pengendalian. Dengan demikian, akan dibangun sintesis inkorporasi dialektik melalui: (1) pengembangan tacit knowledge yang terus-menerus pada level individu dengan (2) pengetahuan formal, atau data, dokumen lain untuk tujuan pendekatan trend perilaku masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Bagan 1 juga menggambarkan proses feedback terhadap standar-standar dan harapan-harapan masyarakat awam secara individual; bagaimana mempelajari keberhasilan penerapan konsep sistem kesehatan di berbagai Negara; bagaimana mengembangkan teknik identifikasi mutu dan ketrampilan-ketrampilan baru yang diperlukan; serta bagaimana melakukan penelitian pasar mengenai pendapat atau opini masyarakat dan nilai-nilai yang dianut serta berkembang dalam setiap kelompok masyarakat.
Dengan demikian, gerakan menumbuhkan semangat dan perilaku hidup sehat masyarakat tidak terfokus pada aspek kuratif dan rehabilitatif semata, tetapi mampu membangun kesadaran dan habitus baru masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan promotif dalam pemeliharaan kesehatan sebagai asas dan wawasan kesehatan nasioal. Pada akhirnya, hal ini dapat mendorong kemandirian individu, baik disektor pemerintah, swasta, maupun masyarakat di pedesaan dan perkotaan, untuk berperilaku hidup sehat sebagai komitmen dan kesadaran nasional, serta memelihara dan meningkatkan kesehatan lingkungan dari level individu sampai tingkat nasional sebagai bangsa.
3. Pendekatan Terhadap Masalah
Pembelajaran penting dalam proses pengembangan kapabilitas dan kompetensi. Dalam praktiknya di lapangan, berbagai persoalan kesehatan masyarakat yang dijumpai tidak selalu sama antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Pendekatan sistem kesehatan masyarakat yang lebih mengikut sertakan bebagai pihak sebagai tim kesehatan membutuhkan kepaduan, keselarasan, dan kesamaan visi mengenai sasaran-sasaran yang ingin dicapai. Lebih dari itu adalah bagaimana membangun suatu tim kesehatan yang dapat menjadi motivator bagi masyarakat.
Bagan 2 menggambarkan proses hadap masalah (problem solving). Langkah-langkah dalam problem solving antara lain:
· Mengidentifikasi masalah seara jelas, termasuk sifat besar, sebab, dan faktor penunjang penyelesaian masalah. Jika masalahnya kompleks maka dipersempit agar mudah diatasi.
· Menetapkan skala prioritas alternatif solusi terhadap masalah yang ditemukan.
· Mendefinisikan suatu solusi yang hendak dilakukan, dengan siapa, di mana, kapan, berapa lama, dan tujuan yang ingin dicapai
· Membuat jaringan (networking) dengan berbagai pihak, seperti instansi pemerintah setempat, lembaga-lembaga pendidikan (universitas), LSM, organisasi professional, perusahaan swasta, tokoh-tokoh masyarakat, dan kader-kader kesehatan di masyarakat.
· Membuat rencana kerja (plan of action), termasuk cara evaluasi dampak kegiatan. Hal ini penting untuk mengukur efektivitas kegiatan
· Bertindak untuk melaksanakan semua rencana kerja sesuai target yang ingin dicapai.
4. Pendekatan Asuransi
Pemerintah telah mengatur mekanisme penentuan harga obat dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang harga obat. Perpres tersebut memberikan kewenangan kepada Menteri Kesehatan untuk menentukan harga obat. Menteri Kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan No. 069/MenKes/SK/II/2006 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian Harga Eceran Tertinggi (HET) pada obat yang harus dicantumkan disetiap strip dan kemasan obat, dengan struktur margin laba di apotek sebesar 10% Ppn ditambah 25%
Namun, kenaikan BBM telah memengaruhi para produsen obat untuk menaikan harga obat dengan alasan biaya produksi, distribusi, propit margin, dan pajak pun turut naik. Kondisi ini tidak dapat dielakkan lagi. Akibatnya, harga obat di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan obat sejenis di luar negri. Harga obat di luar negri murah karena mereka sudah ditopang oleh sistem pelayanan kesehatan yang berbasis asuransi, sehingga pihak asuransi akan “menekan” institusi kesehatan untuk menggunakan obat generik atau obat murah. Selain itu, di Negara-negara maju seperti AS dan Eropa, pasien sudah familiar dengan obat-obat generik sehingga bila berobat ke dokter, klinik, atau rumah sakit otomatis dokter akan meresepkan obat generik. Mereka sudah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang memadai mengenai khasiat obat-obatan yang diberikan oleh dokter atau institusi-institusi kesehatan (OTC Digest, Juni 2008).
Sebagian besar masyarakt Indonesia kini masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan dan obat yang murah. Kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) setiap tahun telah berdampak pada kenaikan harga obat-obatan di pasaran. Bagi mereka yang memiliki asuransi mungkin tidak menjadi soal, tetapi bagi masyarakat yang belum mengenal asuransi, merupakan pukulan dan tekanan psikologis serta beban sosial-ekonomi.
Adapun sistem asuransi kesehatan di Indonesia sudah lama dikembangkan. Kebijakan DepKes meliputi :
a. Pengembangan jaminan kesehatan nasional (JKN) sebagai bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni bentuk jaminan kesehatan pra-bayar yang bersifat wajib bagi seluruh masyarakat.
b. Pengembangan jaminan kesehatan berbasis sukarela, yang meliputi asuransi kesehatan komersial dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) sukarela.
c. Pengembangan jaminan kesehatan sektor informal, meliputi jaminan kesehatan mikro (dana sehat) dan dana sosial masyarakat.
d. Pemeliharaan jaminan pemeliharaaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin).
Sistem asuransi yang dirintis pemerintah perlu disosialisasikan secara menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat di tanah air. Bagi masyarakat pedesaan yang berada di daerah pedalaman, belum mengenal asuransi dan manfaat-manfaatnya. Hal ini dikarenakan terbatasnya sumber daya manusia di jajaran pemerintah.
Penutup
Pembangunan kesehatan kini bukan sekedar tanggung jawab pemerintah (DepKes) semata, tetapi merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat. Pemerintah tetap menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengendali pasar.
Permasalahan-permasalahan kesehatan masyarakat yang kian kompleks, baik di daerah-daerah rural maupun di daerah-daerah urban, membutuhkan peran-aktif berbagai kelompok masyarakat untuk mencari altrnatif penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, baik alternative penyelesaian secara medis maupun non-medis. Melalui pola pendekatan yang melibatkan berbagai kluster, diharapkan mampu menumbuh-kembangkan semangat dan perilaku sehat masyarakat yang bermutu dan berkelanjutan. (MEDIKA, Jurnal Kedokteran Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar