Sabtu, 01 Agustus 2009

BENANG KUSUT ASKESKIN


Dibalik kesuksesannya, tersimpan dilemma yang mendalam. Lemparan bola panas bak gayung bersambut. Apa yang salah?

MEMILIKI program pembiayaan kesehatan yang mampu memayungi seluruh masyarakat adalah cita-cita mulia. Program itu akhirnya terwujud melalui program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin)

Askeskin pun menuai sukses. Jumlah penduduk yang dilayani meningkat dari 60 juta tahun 2005 menjadi 76,4 juta pada tahun 2007. Selain itu, beberapa layanan yang sebelumnya sulit dinikmati, kini telah dapat dirasakan oleh pemilik kartu askeskin, contohnya layanan cuci darah (hemodialisis).

Program Askeskin juga didukung oleh para pemberi pelayanan kesehatan yang menyetujui bekerjasama dalam program tersebut.

Sayangnya, keberhasilan program Askeskin ini tercoreng dengan berbagai fakta yang ditemukan di lapangan. Diawali dengan memanasnya kasus di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara dimana tagihan klaim mencapai 1 milyar per bulan.

Menurut Ilyani Sudrajat dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), isu kritis terhadap program Askeskin telah lama muncul. YLKI sering menerima pengaduan dari masyarakat. Misalnya yang dikeluhkan oleh seorang suster di sebuah Rumah Sakit di Medan yang melihat banyak pasien pengguna Askeskin sebenarnya adalah pasien yang mampu. Indikasinya dapat dilihat dari telepon genggam yang digunakan, mobil yang digunakan untuk mengantar, dan perhiasan pasien.

“Artinya, pendataan masih simpang siur. PT Askes memakai data BPS dan memakai sistem kuota, namun tidak menunjukkan siapa yang berhak atas penggunaan kartu Askeskin,” jelas Ilyani.

Pendataan ulang dilakukan oleh Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten, tetapi dengan proses yang sangat lama, termasuk mendefinisikan ulang kriteria miskin.

Fakta di Lapangan

Ilyani menjelaskan, masih banyak kenyataan pahit lain yang ditemukan di lapangan mengenai kartu sehat, kartu Askeskin, dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Kartu sehat ditarik, namun penggantinya, yakni kartu Askeskin belum diperoleh. Masalahnya, sebagian dari mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang merupakan syarat untuk memperoleh kartu Askeskin. Dapat ditebak, mereka tidak mendapatkan akses kesehatan gratis, sedangkan berbagai pihak seperti contoh kasus di Medan, justru dapat menikmati layanan kesehatan gratis tersebut.

Selain itu, SKTM misalnya, hanya berlaku selama sebulan. Setiap bulannya diurus kembali oleh masyarakat miskin. Masyarakat pengguna SKTM masih ditarik bayaran. Pelayanan kesehatan yang mereka peroleh juga buruk, karena diskriminasi pelayanan. Pemegang SKTM dan kartu sehat masih ditarik pembayaran obat. Puskesmas dan RSUD selalu menyatakan tidak mempunyai daftar obat yang tertera didaftar obat diAskes.

Krisis Biaya ?

Fakta lain yang mengejutkan adalah masalah pembayaran tagihan. Data yang didapatkan oleh Pengurus Besar IDI, seperti yang diungkapkan DR.Dr. Fachmi Idris, MKes, ternyata hampir seluruh Rumah Sakit di Indonesia yang menyelenggarakan program askeskin belum dibayar piutangnya oleh PT. Askes sejak bulan Mei 2007. Akibatnya aliran dana (cash flow) rumah sakit mengalami gunjangan. Khusus untuk obat, menurut informasi yang didapat sejak bulan Februari 2007, supplier obat mengaku belum dibayar.

Bahkan PT. Askes sebagai verifikator dan “juru bayar” program Askeskin sampai saat ini hanya menyisakan saldo sekitar Rp. 123 Milyar, sedangkan total perhitungan kewajiban atau hutang masih harus dibayar sampai tanggal 31 Juli 2007 sekitar Rp. 1,56 triliyun.

Meski begitu, Mentri Kesehatan DR.Dr. Siti Fadillah Supari, SpJP(K) menjamin tidak ada krisis dana. Sebab, Depkes sedang menyiapkan dana tambahan untuk program Askeskin sebesar Rp. 1,7 triliyun. Dana tersebut diperoleh dari efisiensi dan optimalisasi kegiatan di Depkes sebesar Rp. 1 triliyun, ditambah anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2007 sebesar Rp. 700 miliyar.

Keadaan tersebut diperkirakan akan terus menjadi persoalan sampai akhir tahun ini. Walaupun dana efisiensi dan optimalisasi kegiatan Departemen Kesehatan serta APBN-P terpenuhi, kemungkinan kekosongan anggaran untuk program Askeskin tetap terjadi, khususnya untuk periode Oktober-Desember 2007, dikarenakan perhitungan kewajiban yang harus dibayar ke berbagai rumah sakit sampai bulan September saja lebih dari Rp. 1,56 triliyun.

Artinya, untuk persiapan pembayaran tagihan bulan Agustus-Desember 2007. Depkes melalui PT. Askes hanya memiliki dana sebesar Rp. 140 miliyar yang merupakan selisih dana dari rencana dana optimalisasi dan efisiensi sebesar Rp. 1,7 triliyun dan dana perkiraan kewajiban Rp. 1,56 triliun. Padahal selama periode tiga bulan pertama tahun 2007, rata-rata tagihan mencapai Rp. 1,5 triliun.

Akibatnya, rumah sakit tetap terbebani biaya operasional yang tidak jelas harus darimana mendapatkannya. Obat tidak tercukupi. Selain itu muncul dilema bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan, khususnya bagi petugas kesehatan.


Antisipasi Dana.

Mengatasi kekurangan dana, pemerintah harus memiliki strategi pelaksanaan, seperti yang dilakukan oleh RSD Bangkalan, Madura. Untuk mengatasi pembiayaan layanan kesehatan masyarakat miskin, RSD Bangkalan memiliki dana pendamping dari Pemerintah Kabupaten.

Pada tahun 2006 dan 2007, RSD Bangkalan telah menyediakan dana pendamping sebesar Rp. 1,3 triliun. Pembiayaan kesehatan akan disesuaikan dengan kategori pasien miskin yang dilayani di RSD Bangkalan. Adapun kategori pasien RSD Bangkalan adalah pasien tidak mampu dengan membawa kartu Askeskin, pasien yang tidak mampu yang membawa kartu SKTM, pasien terlantar tidak dikenal dari panti sosial, tidak membawa kartu tetapi tidak mampu membayar, tahanan, tuna wisma, pengungsi, anak yatim piatu dan anak jalanan.

Pembiayaan untuk pasien yang membawa kartu Askeskin, pengungsi, yatim piatu, dan tahanan berasal dari dana Askeskin ditambah subsidi Pemda, sedangkan sumber pembiayaan untuk pasien miskin lainnya, seperti anak jalanan, tanpa keterangan, terlantar, tuna wisma, berasal dari dana subsidi pemda. (DK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar