Kamis, 20 Agustus 2009

PELAYANAN JAMSOSTEK SEHARUSNYA MULIA, BUKAN BASA-BASI

Sang dukun cilik dari Jombang itu bernama Ponari. Berbekal sebongkah batu kecil, dalam waktu singkat dia menjadi pujaan orang banyak karena mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Khalayak datang bergelombang dari berbagai tempat yang jauh, mengabaikan rumah sakit, puskesmas, atau polindes yang tersedia di sekitar mereka. Ribuan pengunjung rela berbaris dalam antrian panjang yang berdesak-desak penuh harapan. Dukun cilik Ponari menjadi fenomena yang menarik tentang perilaku mencari pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Bagaimanapun, itu pasti bukan bertanda baik. Masyarakat yang didera berbagai masalah kesehatan yang berkepanjangan seakan hilang kepercayaan pada fasilitas pelayanan kesehatan professional yang ada. Bukan mustahil, rasa putus asa telah mendorong mereka mencari alternatif lain, tidak peduli di luar nalar sekalipun. Pernyataan Menkes pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional (RPKKN) 2009 di Imperial Ballroom Pakuwon, Surabaya, Rabu (18/3/2009) menguatkan dugaan bahwa pencarian keajaiban tersebut merasa putus asa.

Dari aspek religi, Ponari bukanlah peristiwa biasa. Campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa seakan ingin mengingatkan bangsa ini. Hanya Tuhan yang berwenang menentukan hasil proses penyembuhan dan hanya dengan izin-Nya orang mempunyai kemampuan menyembuhkan, siapa pun dia, professor spesialis konsulen atau Ponari, anak desa yang lugu itu. Sugesti yang memukau pun berkekuatan menyembuhkan. Dari aspek ekonomi, krisis yang mendera dunia saat ini semakin mendera kehidupan dan membuat rakyat miskin semakin terpuruk. Fasilitas kesehatan yang semakin kehilangan fungsi sosial itu semakin menghimpit dan mengabaikan masyarakat miskin. Dari aspek politis, berobat gratis menjadi amunisi kapanye yang lantang dikumandangkan untuk kemudian lenyap terlupakan bersama pergeseran waktu. Biaya berobat semakin tinggi dan mereka yang miskin semakin terkucil serta termarginalisasikan.

Salah satu tolok ukur pelayanan kesehatan WHO adalah penyelenggaraan “fair of financing” yang digambarkan dengan sistem jaminan kesehatan yang mampu menjangkau pelayanan kesehatan dengan biaya yang berkeadilan. Berbagai negara berkembang dengan segala keterbatasannya mencoba menerapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan tersebut. Sejak Januari 2008, Indonesia telah menjalankan jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang menyempurnakan Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askeskin) yang pernah terselenggara pada 2005-2007.

Akses masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan pemerintah secara empiris meningkat, tetapi berbagai temuan lapangan mengindikasikan pelaksanaan Jamkesmas yang tidak sesuai dengan harapan. Peristiwa paling menonjol adalah pendirian “Kelompok Rakyat Pengawas Rumah Sakit” yang dipicu oleh perlakuan terhadap pasien miskin di Rumah SakitCipto Mangunkusumo. Manajer kesehatan masih terbenam dalam rekruitmen petugas yang pandai dan terampil. Di lain pihak, pemerataan penyebaran tenaga kesehatan masih menjadi gincu program. Sumber daya manusia kesehatan yang ada cendrung kehilangan tauladan dan menjadi semakin tidak tanggap serta tidak peduli. Mereka menjadi pilih kasih, tidak ramah, tidak peduli, dan membiarkan penderita lama menunggu tanpa penjelasan yang tulus. Pada akhirnya, pasien miskin hadir ke fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah karena tidak ada pilihan. Sementara, untuk yang kaya tersedia banyak pilihan, termasuk pelayanan VIP dan klinik eksekutif rumah sakit pemerintah. Kepercayaan pada fasilitas kesehatan pemerintah semakin susut sehingga alternatif lain, betapapun tidak masuk akal, akan ditempuh. Gelombang besar penduduk yang menerpa dukun Ponari bagaikan protes masyarakat miskin yang lama terabaikan dan tidak berdaya.

Bagaimanapun, ada keberhasilan program kesehatan keluarga miskin, antara lain akses yankes meningkat. Rawat inap rumah sakit tahun 2005 (562.167); pada 2006 (1,6 juta);dan pada 2007 (1,91 juta) meningkat 21,27%. Pelayanan kasus katastropik seperti operasi jantung, cesar, dan hemodialisis juga meningkat. Namun hanya 17% pasien rawat inap yang merasa puas. Keluhan utama tertumpah pada komunikasi yang rendah (80%), perhatian yang kurang (66,7%), dan pelayanan yang tidak ramah (33,3%). Selain itu, perawatan rawat jalan RS pada 2005-2006 (392%) dan pada 2007 turun 13,83% (medika)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar